Rabu, 12 Desember 2012

Setingkat Mimpi (Semoga lebih baik)


“Semoga lebih baik” kata-kata itu sering kita terdengar dari sebuah ucapan selamat. Sebuah kalimat abstrak yang bahkan saat diminta untuk mendeskripsikanpun orang bingung menjawabnya. Kalimat yang mengandung sebuah doa dengan pengharapan yang tinggi, namun bagaimana Tuhan  akan mengabulkan? sementara kalimat yang diucapkannya itu kurang jelas mengenai apa yang diinginkan, “lebih baik yang seperti apa yang dimaksud?”. Andai saja yang “lebih baik” adalah tercapainya sebuah mimpi, mimpi apa yang diharapkan? Lagi-lagi Tuhan dibuat bingung.

Berbicara mengenai mimpi, wajar saja setiap manusia mempunyai banyak impian dan pengharapan. Hidup berkecukupan harta serta banyak cinta menjadi dambaan sedikitnya sejuta orang di dunia, hal ini menjadikan manusia senantiasa berlomba-lomba untuk meraihnya. Nah, tinggal bagaimana caranya? Setiap orang mempunyai pilihan jalan masing-masing. Baik buruk disini bukan menjadi patokan dunia namun hasil-lah yang akan menentukan, iya memang saat kita menggunakan jalan yang sesat ini artinya menjadi tidak berkah, tapi dunia tidak mengenal itu melainkan siapa yang disebut berhasil dialah yang berpengaruh. “Tapi banyak juga ko yang menggunakan cara-cara baik dia bisa berhasil!” Begitu kata seorang sahabat, saya “Iiiyaaa, memang benar begitu adanya dan itu yang saya sarankan, menggunakan cara baik untuk meraih keberhasilan,he”.

Sebelum berbicara mengenai teraihnya mimpi, keinginan atau keberhasilan terlebih dahulu perlu kita berbicara mengenai cara untuk meraihnya, “proses” begitu kata orang. Proses bisa diibaratkan sebuah perjalanan yang dimana ada jelas tujuannya dan seharusnya sudah jelas juga alat transportasi apa yang digunakan serta kapan kita sampai pada tempat tujuan. Seyakin-yakinnya kita tentang pentingnya proses tapi tanpa kita tahu alat transpotasi yang digunakan, tempat tujuan itu hanya sekedar mimpi (dalam arti sebenarnya) begitupun saat kita tidak tahu kapan kita sampai, hal ini benar-benar menjadikan tempat tujuan hanya sebagai khayalan, terlebih lagi bagi orang yang tempat tujuannya saja tidak tahu. Masih yakin proses itu penting? Kalau saya, masih.

Keinginan adalah sumber penderitaan, kata-kata ini lah yang senantiasa terngiang dalam benak saya. Sebuah kalimat bermakna ambigu yang bisa berdampak besar bagi orang yang meyakininya. Kalimat yang bisa saja membuat orang enggan mempunyai keinginan karena takut menderita, namun bisa juga dimaknakan karena takut menderita dan sudah terlanjur mempunyai keinginan maka ini menjadi tantangan untuk segera mewujudkan keinginan agar tidak menderita. Namun bagi saya keinginan akan menjadi sumber penderitaan apabila keinginan kita tidak realialistis serta keinginannya ingin dalam satu waktu terwujud semua. Seorang guru pernah mengajarkan kepada saya bagaimana cara mencapai keinginan yang besar agar tetap realistis untuk dicapai. Caranya adalah dengan memotong keinginan-keinginan yang besar itu menjadi beberapa bagian kecil, maksudnya apabila diibaratkan keinginan atau mimpi itu puncak gedung 10 lantai, untuk mencapainya tentu kita harus menuju kelantai 1 terlebih dahulu selanjutnya 2, 3, 4 dan seterusnya.  Apabila kita punya impian besar berpenghasilan 100 juta perbulan, kita perlu memotong impian kita terlebih dahulu menjadi 5 juta per bulan, apabila sudah tercapai akan lebih mudah kita untuk meningkatkan mimpi kita untuk berpenghasilan 7 juta perbulan, selanjutnya 10 juta perbulan juga menjadi hal yang ringan karena hanya memerlukan sedikit tambahan energy bekerja dan bukan tidak mungkin 20 juta perbulan dapat dicapai dengan ringan, begitu seterusnya.

Dari cerita guru diatas akhirnya saya mendapat pelajaran dimana ternyata berpikir realistis itu mengurangi beban penderitaan sehingga sering saya berdoa “semoga saya satu tingkat lebih baik dari saya sekarang”. =p

Tidak ada komentar:

Posting Komentar