“Semoga lebih baik” kata-kata itu
sering kita terdengar dari sebuah ucapan selamat. Sebuah kalimat abstrak yang
bahkan saat diminta untuk mendeskripsikanpun orang bingung menjawabnya. Kalimat
yang mengandung sebuah doa dengan pengharapan yang tinggi, namun bagaimana
Tuhan akan mengabulkan? sementara kalimat
yang diucapkannya itu kurang jelas mengenai apa yang diinginkan, “lebih baik
yang seperti apa yang dimaksud?”. Andai saja yang “lebih baik” adalah
tercapainya sebuah mimpi, mimpi apa yang diharapkan? Lagi-lagi Tuhan dibuat
bingung.
Berbicara mengenai mimpi, wajar
saja setiap manusia mempunyai banyak impian dan pengharapan. Hidup berkecukupan
harta serta banyak cinta menjadi dambaan sedikitnya sejuta orang di dunia, hal
ini menjadikan manusia senantiasa berlomba-lomba untuk meraihnya. Nah, tinggal
bagaimana caranya? Setiap orang mempunyai pilihan jalan masing-masing. Baik buruk
disini bukan menjadi patokan dunia namun hasil-lah yang akan menentukan, iya
memang saat kita menggunakan jalan yang sesat ini artinya menjadi tidak berkah,
tapi dunia tidak mengenal itu melainkan siapa yang disebut berhasil dialah yang
berpengaruh. “Tapi banyak juga ko yang menggunakan cara-cara baik dia bisa
berhasil!” Begitu kata seorang sahabat, saya “Iiiyaaa, memang benar begitu
adanya dan itu yang saya sarankan, menggunakan cara baik untuk meraih keberhasilan,he”.
Sebelum berbicara mengenai
teraihnya mimpi, keinginan atau keberhasilan terlebih dahulu perlu kita berbicara
mengenai cara untuk meraihnya, “proses” begitu kata orang. Proses bisa diibaratkan
sebuah perjalanan yang dimana ada jelas tujuannya dan seharusnya sudah jelas
juga alat transportasi apa yang digunakan serta kapan kita sampai pada tempat
tujuan. Seyakin-yakinnya kita tentang pentingnya proses tapi tanpa kita tahu alat
transpotasi yang digunakan, tempat tujuan itu hanya sekedar mimpi (dalam arti
sebenarnya) begitupun saat kita tidak tahu kapan kita sampai, hal ini
benar-benar menjadikan tempat tujuan hanya sebagai khayalan, terlebih lagi bagi
orang yang tempat tujuannya saja tidak tahu. Masih yakin proses itu penting? Kalau
saya, masih.
Keinginan adalah sumber penderitaan,
kata-kata ini lah yang senantiasa terngiang dalam benak saya. Sebuah kalimat bermakna
ambigu yang bisa berdampak besar bagi orang yang meyakininya. Kalimat yang bisa
saja membuat orang enggan mempunyai keinginan karena takut menderita, namun
bisa juga dimaknakan karena takut menderita dan sudah terlanjur mempunyai
keinginan maka ini menjadi tantangan untuk segera mewujudkan keinginan agar
tidak menderita. Namun bagi saya keinginan akan menjadi sumber penderitaan apabila
keinginan kita tidak realialistis serta keinginannya ingin dalam satu waktu terwujud
semua. Seorang guru pernah mengajarkan kepada saya bagaimana cara mencapai
keinginan yang besar agar tetap realistis untuk dicapai. Caranya adalah dengan
memotong keinginan-keinginan yang besar itu menjadi beberapa bagian kecil,
maksudnya apabila diibaratkan keinginan atau mimpi itu puncak gedung 10 lantai,
untuk mencapainya tentu kita harus menuju kelantai 1 terlebih dahulu
selanjutnya 2, 3, 4 dan seterusnya. Apabila
kita punya impian besar berpenghasilan 100 juta perbulan, kita perlu memotong
impian kita terlebih dahulu menjadi 5 juta per bulan, apabila sudah tercapai
akan lebih mudah kita untuk meningkatkan mimpi kita untuk berpenghasilan 7 juta
perbulan, selanjutnya 10 juta perbulan juga menjadi hal yang ringan karena
hanya memerlukan sedikit tambahan energy bekerja dan bukan tidak mungkin 20
juta perbulan dapat dicapai dengan ringan, begitu seterusnya.
Dari cerita guru diatas akhirnya saya mendapat
pelajaran dimana ternyata berpikir realistis itu mengurangi beban penderitaan
sehingga sering saya berdoa “semoga saya satu
tingkat lebih baik dari saya sekarang”. =p